BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.
Pasal 107
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan bagi perkara tindak pidana di bidang perikanan yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri dilakukan sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 108
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) yang masih dalam tahap penyidikan atau penuntutan tetap diberlakukan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang ini;
b. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) yang sudah diperiksa tetapi belum diputus oleh pengadilan negeri tetap diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri yang bersangkutan sesuai dengan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang ini; dan
c. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) yang sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi belum mulai diperiksa dilimpahkan kepada pengadilan perikanan yang berwenang.
Pasal 109
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 110
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3299); dan
b. ketentuan tentang pidana denda dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260) khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 111
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2004
TENTANG PERIKANAN
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional.
Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.
Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakaan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materiil dan hukum formil. Untuk menjamin kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas, sehingga dalam Undang-Undang ini rumusan mengenai hukum acara (formil) bersifat lebih cepat.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka pengadilan perikanan yang telah dibentuk tersebut, baru melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku. Pengadilan perikanan tersebut bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc.
Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang, maka Undang-Undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan:
a. pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan;
b. pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan pengendaliannya;
c. pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
d. pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu;
e. pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan;
f. pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana perikanan serta sistim informasi dan data statistik perikanan;
g. penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran perikanan, dan kapal perikanan;
h. pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan kelautan dan perikanan;
i. pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan nelayan kecil atau pembudi daya-ikan kecil;
j. pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, dan laut lepas yang ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan persyaratan atau standar internasional yang berlaku;
k. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan internasional sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan yang tersedia;
l. pengawasan perikanan;
m. pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI-AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia;
n. pembentukan pengadilan perikanan; dan
o. pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-Undang ini merupakan pembaharuan dan penyempurnaan pengaturan di bidang perikanan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di laut lepas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hukum adat dan/atau kearifan lokal yang dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan perikanan adalah yang tidak bertentangan dengan hukum nasional.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “potensi dan alokasi sumber daya ikan” adalah termasuk juga ikan yang beruaya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jumlah tangkapan yang diperbolehkan” adalah banyaknya sumber daya ikan yang boleh ditangkap di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan tetap memperhatikan kelestariannya sehingga diperlukan adanya data dan informasi yang akurat tentang ketersediaan sumber daya ikan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara faktual setiap daerah penangkapan. Di samping itu, pelaksanaan penerapan prinsip jumlah tangkapan yang diperbolehkan wajib memperhatikan kewajiban internasional di bidang perikanan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “potensi dan alokasi induk dan benih ikan tertentu” adalah induk dan benih ikan tertentu yang ditangkap dari alam.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “ukuran alat penangkapan” adalah termasuk juga ukuran mata jaring.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “alat bantu penangkapan” adalah sarana, perlengkapan, atau benda lain yang dipergunakan untuk membantu dalam rangka efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan, seperti lampu, rumpon, dan terumbu karang buatan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “waktu atau musim penangkapan” adalah penetapan pembukaan dan penutupan area atau musim penangkapan untuk memberi kesempatan bagi pemulihan sumber daya ikan dan lingkungannya.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “sistem pemantauan kapal perikanan” adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan ikan, yang menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan.
Contoh: sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS).
Huruf k
Dalam usaha meningkatkan produktivitas suatu perairan dapat dilakukan penebaran ikan jenis baru, yang kemungkinan menimbulkan efek negatif bagi kelestarian sumber daya ikan setempat sehingga perlu dipertimbangkan agar penebaran ikan jenis baru dapat beradaptasi dengan lingkungan sumber daya ikan setempat dan/atau tidak merusak keaslian sumber daya ikan.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “penangkapan ikan berbasis budi daya” adalah penangkapan sumber daya ikan yang berkembang biak dari hasil penebaran kembali.
Huruf m
Sesuai dengan perkembangan teknologi, pembudidayaan ikan tidak lagi terbatas di kolam atau tambak, tetapi dilakukan pula di sungai, danau, dan laut. Karena perairan ini menyangkut kepentingan umum, perlu adanya penetapan lokasi dan luas daerah serta cara yang dipergunakan agar tidak mengganggu kepentingan umum. Di samping itu, perlu ditetapkan ketentuan yang bertujuan melindungi pembudidayaan tersebut, misalnya, pencemaran lingkungan sumber daya ikan.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang buatan, pembuatan tempat berlindung/berkembang biak ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar perairan.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Yang dimaksud dengan “suaka perikanan” adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.
Huruf r
Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam wilayah tertentu terjangkit wabah, dan Menteri menetapkan langkah-langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah penyakit ikan dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Huruf s
Cukup jelas.
huruf t
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “komisi nasional” adalah kelompok yang melakukan pengkajian potensi sumber daya ikan yang terdiri atas pakar, perguruan tinggi, dan instansi pemerintah terkait yang mempunyai keahlian di bidang sumber daya ikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “jenis ikan” adalah:
a. pisces (ikan bersirip);
b. crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya);
c. mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya);
d. coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya);
e. echinodermata (tripang, bulu babi, dan sebangsanya);
f. amphibia (kodok dan sebangsanya);
g. reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air, dan sebangsanya);
h. mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung, dan sebangsanya);
i. algae (rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air); dan
j. biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas, semuanya termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya tidak saja mematikan ikan secara langsung, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan merugikan nelayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat dimaksud, pengembalian ke dalam keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target penangkapan.
Larangan tersebut dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dicantumkan dalam pemberian perizinan penangkapan dan merupakan satu kesatuan dengan kapal yang akan digunakan untuk melakukan penangkapan.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laut lepas yang bersifat tertutup atau semi tertutup” adalah suatu teluk, lembah laut (basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua negara atau lebih, yang dihubungkan dengan wilayah laut lainnya atau samudera, oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya, atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif dua negara pantai atau lebih.
Yang dimaksud dengan “wilayah kantong (pocket area)” adalah laut lepas yang dikelilingi oleh zona ekonomi eksklusif dari beberapa negara, misalnya di utara Papua terdapat laut lepas yang dibatasi oleh ZEE Indonesia, ZEE Papua New Guinea, ZEE Palau, dan ZEE Federation State of Micronesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keanggotaan Pemerintah dalam kerja sama regional dan internasional dilakukan secara selektif.
Dalam hal tertentu Pemerintah diharapkan proaktif menyeponsori pembentukan lembaga regional dan internasional bagi kemajuan pembangunan perikanan Indonesia.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan kritis” adalah suatu penurunan serius akibat penangkapan yang berlebihan atas ketersediaan jenis ikan tertentu, keadaan berjangkitnya wabah penyakit ikan, atau suatu perubahan besar dari perubahan lingkungan akibat pencemaran yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumber daya ikan yang harus ditangani dan memerlukan tindakan segera.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pencemaran sumber daya ikan” adalah tercampurnya sumber daya ikan dengan makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain akibat perbuatan manusia sehingga sumber daya ikan menjadi kurang, tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, dan/atau berbahaya bagi yang memanfaatkannya.
Yang dimaksud dengan “kerusakan sumber daya ikan” adalah terjadinya penurunan potensi sumber daya ikan yang dapat membahayakan kelestariannya di lokasi perairan tertentu yang diakibatkan oleh perbuatan seseorang dan/atau badan hukum yang telah menimbulkan gangguan sedemikan rupa terhadap keseimbangan biologis atau daur hidup sumber daya ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Kawasan konservasi yang terkait dengan perikanan, antara lain, adalah terumbu karang, padang lamun, bakau, rawa, danau, sungai, dan embung yang dianggap penting untuk dilakukan konservasi. Dalam hal ini Pemerintah dapat melakukan penetapan kawasan konservasi, antara lain, sebagai suaka alam perairan, taman nasional perairan, taman wisata perairan, dan/atau suaka perikanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “plasma nutfah” adalah substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup dan merupakan sumber atau sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul baru.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi plasma nutfah yang ada agar tidak hilang, punah, atau rusak, di samping juga untuk mellindungi ekosistem yang ada.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ikan jenis baru” adalah ikan yang bukan asli dan/atau tidak berasal dari alam darat dan laut Indonesia yang dikenali dan/atau diketahui dimasukkan ke dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia maupun ikan yang berasal dari hasil pemuliaan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “calon induk ikan” adalah ikan hasil seleksi yang dipersiapkan untuk dijadikan induk.
Yang dimaksud dengan “induk ikan” adalah ikan pada umur dan ukuran tertentu yang telah dewasa dan digunakan untuk menghasilkan benih, sedangkan benih ikan adalah ikan dalam umur, bentuk, dan ukuran tertentu yang belum dewasa.
Untuk tujuan peningkatan produksi melalui perbaikan mutu ikan dari hasil pembudidayaan, diperlukan jenis dan/atau varietas ikan baru yang belum terdapat di dalam negeri. Namun, pemasukan ikan jenis baru dari luar negeri dapat menjadi media pembawa bagi masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan berbahaya ke dalam negeri dan/atau dapat menjadi predator atau kompetitor yang menyebabkan langkanya jenis ikan lokal. Oleh karena itu, pemasukannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengaturan pengeluaran jenis calon induk, induk, dan benih ikan dari wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk menjamin pembudidayaan ikan jenis baru tersebut secara berkelanjutan.
Pasal 16
Ayat (1)
Larangan ini dimaksudkan untuk melindungi sumber daya ikan yang dimiliki agar tidak hilang atau punah, terutama ikan asli Indonesia (indigenous species), juga dimaksudkan untuk melindungi ekosistem asli alam Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan “sarana pembudidayaan ikan” adalah, antara lain, pakan ikan, obat ikan, pupuk, dan keramba.
Yang dimaksud dengan “prasarana pembudidayaan ikan” adalah, antara lain, kolam, tambak, dan saluran tambak.
Dalam mengatur dan mengembangkan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan, Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 18
Ayat (1)
Setiap jenis ikan yang dibudidayakan memerlukan persyaratan teknis dan tingkat teknologi yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan sehingga distribusi dan pemanfaatan air dapat dilakukan secara maksimal, sesuai dengan kebutuhan teknis pembudidayaan ikan serta dapat dihindari penggunaan lahan yang dapat merugikan pembudidayaan ikan, termasuk ketersediaan sabuk hijau (greenbelt).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya” adalah upaya yang dilakukan dalam rangka menjaga dan memperbaiki keseimbangan antar faktor lingkungan, ketahanan ikan, serta hama penyakit ikan dengan melakukan pencegahan, pengobatan, dan pengaturan pemakaian obat ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya harus dilakukan secara bersama-sama, baik oleh pemerintah maupun pihak terkait dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam mengenali hama dan penyakit ikan, identifikasi, pencegahan, penanggulangan dan pengendalian kesehatan ikan, serta permasalahan lingkungan pembudidayaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengolahan ikan” adalah rangkaian kegiatan dan/ atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia.
Yang dimaksud dengan “produk perikanan” adalah setiap bentuk produk pangan yang berupa ikan utuh atau produk yang mengandung bagian ikan, termasuk produk yang sudah diolah dengan cara apapun yang berbahan baku utama ikan.
Yang dimaksud dengan “kelayakan pengolahan” adalah suatu kondisi yang memenuhi prinsip dasar pengolahan, yang meliputi konstruksi, tata letak, sanitasi, higiene, seleksi bahan baku, dan teknik pengolahan.
Yang dimaksud dengan “sistem jaminan mutu dan keamanan” adalah upaya pencegahan yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak praproduksi sampai dengan pendistribusian untuk menghasilkan hasil perikanan yang bermutu dan aman bagi kesehatan manusia.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengawasan dan pengendalian mutu” adalah semua kegiatan menilai, memeriksa, memantau, mengambil contoh, menguji, melakukan koreksi, memvalidasi, mengaudit, memverifikasi, dan mengkalibrasi, dalam rangka memberikan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan.
Huruf b
Standar mutu meliputi, antara lain, ukuran, jumlah, rupa, spesifikasi produk perikanan, dan hasil pengolahan ikan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penanganan” adalah suatu rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan terhadap ikan tanpa mengubah struktur dan bentuk dasar.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk menjamin hak konsumen ikan dan produk perikanan, produk harus aman, sehat, dan tidak kadaluarsa.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (
Cukup jelas.
Pasal 21
Yang dimaksud dengan "sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia” adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh laboratorium yang ditunjuk oleh pemerintah yang menyatakan bahwa ikan dan hasil perikanan telah memenuhi persyaratan jaminan mutu dan keamanan untuk konsumsi manusia.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
SIKPI sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah SIKPI asli dan bukan foto copy dan/atau salinan yang mirip dengan SIKPI asli.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah SIPI asli dan bukan foto copy dan/atau salinan yang mirip dengan SIPI asli.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan yang bukan untuk tujuan komersial” adalah kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau lembaga Pemerintah atau lembaga swasta dalam rangka pendidikan, penyuluhan, penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya, kesenangan, dan/atau wisata.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan, penataan dan pengendalian terhadap pengadaan kapal baru dan/atau bekas perlu dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung sumber daya ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Pendaftaran kapal perikanan dimuat di dalam buku kapal perikanan yang dipergunakan untuk memenuhi persyaratan penerbitan SIPI/SIKPI. Buku kapal perikanan dimaksud bukan sebagai gros akte pendaftaran kapal yang merupakan persyaratan untuk menerbitkan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia, bagi kapal-kapal yang mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kapal perikanan yang akan diproses penerbitan surat tanda kebangsaan terlebih dahulu didaftarkan di dalam buku kapal perikanan.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “tanda pengenal kapal perikanan” adalah tanda atau notasi, antara lain, identitas tentang jenis kapal, ukuran kapal, daerah penangkapan, dan nomor registrasi tempat kapal tercatat sebagai kapal perikanan.
Pasal 38
Ayat (1)
Kewajiban menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka diberlakukan bagi setiap kapal perikanan berbendera asing yang melintasi perairan Indonesia, alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), dan ZEEI.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “kapal perikanan dengan ukuran dan jenis tertentu” adalah kapal yang dipergunakan oleh nelayan kecil.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Dalam rangka pengembangan perikanan, Pemerintah membangun dan membina pelabuhan perikanan yang berfungsi, antara lain, sebagai tempat tambat-labuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan distribusi ikan, tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, tempat pengumpulan data tangkapan, tempat pelaksanaan penyuluhan serta pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Untuk mendukung dan menjamin kelancaran operasional pelabuhan perikanan, ditetapkan batas-batas wilayah kerja dan pengoperasian dalam koordinat geografis.
Dalam hal wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan berbatasan dan/atau mempunyai kesamaan kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya dilakukan melalui koordinasi dengan instansi yang bersangkutan.
Huruf e
Pihak swasta dapat membangun pelabuhan perikanan atas persetujuan Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “bongkar muat ikan” adalah termasuk juga pendaratan ikan.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Syahbandar yang akan diangkat oleh Menteri harus terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan kesyahbandaran yang dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kesyahbandaraan.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada pelabuhan perikanan.
Termasuk kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan di antaranya kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan tangkahan, pelabuhan rakyat, dan pelabuhan lainnya wajib memperoleh SLO dari pengawas perikanan.
Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi kapal perikanan yang pada daerah tersebut memang tidak ada pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan umum, dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan ini, maka surat izin berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh syahbandar setempat.
Pasal 46
Ayat (1)
Dalam rangka penyusunan rencana pengembangan sistem informasi dan data statistik perikanan serta penilaian kemajuannya, diperlukan data teknik, produksi, pengolahan, pemasaran ikan, serta sosial ekonomi yang dapat memberikan gambaran yang benar tentang tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang tersedia.
Data dan informasi tersebut, antara lain:
a. jenis, jumlah, dan ukuran kapal perikanan;
b. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
c. daerah dan musim penangkapan;
d. jumlah tangkapan atau jumlah hasil pembudidayaan ikan;
e. luas lahan dan daerah pembudidayaan ikan;
f. jumlah nelayan dan pembudi daya ikan;
g. ukuran ikan tangkapan dan musim pemijahan ikan;
h. data ekspor dan impor komoditas perikanan; dan
i. informasi tentang persyaratan tertentu yang berkaitan dengan standar ekspor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Kepada setiap orang yang berusaha di bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan yang dilakukan di laut atau di perairan lainnya di dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan karena mereka ini telah memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ketentuan mengenai penelitian dan pengembangan dimaksudkan untuk dapat mengungkapkan segala permasalahan yang mendasar mengenai sumber daya ikan dan lingkungannya serta teknologi yang berkaitan dengan perikanan tangkap, budi daya, dan pengolahan maupun masalah sosial ekonomi perikanan.
Pelaksanaan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya harus ditujukan untuk memperoleh informasi ilmiah tentang sumber daya ikan dan lingkungannya serta sosial ekonomi perikanan, perbaikan teknologi ataupun teknologi baru di bidang perikanan tangkap, budi daya, dan pengolahan perikanan yang dapat dijadikan dasar di dalam menyusun kebijakan pengolahan sumber daya ikan dan pengembangan perikanan.
Pasal 53
Ayat (1)
Penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian dan pengembangan milik Pemerintah termasuk juga penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan oleh lembaga pemerintah nondepartemen, badan usaha milik negara (BUMN), dan/atau badan usaha milik daerah (BUMD).
Ayat (2)
Dalam kaitan pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang perikanan sering dilakukan kerja sama antar negara. Hal yang demikian dilakukan, antara lain, berhubungan dengan:
a. karakteristik sumber daya ikan yang tidak mengenal batas administrasi negara;
b. tuntutan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang perikanan;
c. pelaksanaan ketentuan dari perjanjian internasional; dan
d. perkembangan tuntutan konsumen terhadap jaminan keamanan dan mutu hasil perikanan.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pendidikan dan/atau pelatihan yang bertaraf internasional diselenggarakan oleh instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang perikanan pada semua jenjang, yakni pada unit pelatihan, sekolah menengah kejuruan, dan perguruan tinggi, antara lain, sesuai dengan bidang teknologi penangkapan, budi daya, pengolahan, permesinan, dan penyuluhan.
Pasal 58
Yang dimaksud dengan “lembaga terkait” adalah mencakup lembaga Pemerintah dan lembaga non-Pemerintah.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota di wilayah masing-masing ikut serta memberdayakan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil.
Penumbuhkembangan kelompok nelayan kecil, kelompok pembudi daya-ikan kecil sebagai sarana untuk memudahkan pemberdayaan melalui kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah mencakup lembaga swadaya masyarakat.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “komoditas ikan pilihan” adalah jenis ikan yang tidak dilarang oleh Pemerintah untuk dibudidayakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “keamanan pangan hasil perikanan” adalah kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, termasuk menggunakan metode penangkapan dan/atau pembudidayaan yang dapat merusak ekosistem dan kelestarian lingkungan perikanan.
Ayat (5)
Pendaftaran diri, usaha, dan kegiatan bagi nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil selain dilakukan oleh yang bersangkutan, instansi yang bertanggung jawab di bidang perikanan juga secara proaktif melakukan pendaftaran dalam rangka pengumpulan data dan informasi untuk pembinaan usaha perikanan dan pengelolaan sumber daya ikan.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Pengawas perikanan, antara lain:
a. pengawas penangkapan;
b. pengawas perbenihan;
c. pengawas budi daya;
d. pengawas hama dan penyakit ikan; dan
e. pengawas mutu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “nonpenyidik pegawai negeri sipil perikanan” adalah pegawai negeri sipil lainnya di bidang perikanan yang bukan sebagai penyidik, tetapi diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan.
Pasal 67
Keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan misalnya dengan melaporkan kepada aparat penegak hukum apabila terdapat dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perikanan.
Pasal 68
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan, Pemerintah membangun, menyediakan, dan/atau mengusahakan sarana dan prasarana pengawasan, yang antara lain:
a. kapal pengawas perikanan;
b. sistem pemantauan kapal perikanan; dan
c. pangkalan/dermaga kapal pengawas perikanan.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kapal pengawas perikanan” adalah kapal pemerintah yang diberi tanda-tanda tertentu untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan.
Ayat (3)
Penahanan kapal dilakukan dalam rangka tindakan membawa kapal ke pelabuhan terdekat dan/atau menunggu proses selanjutnya yang bersifat sementara.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Koordinasi diperlukan selain untuk kelancaran pelaksanaan tugas penyidik, juga dimaksudkan untuk memperlancar komunikasi dan tukar-menukar data, informasi, serta hal lain yang diperlukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana perikanan.
Ayat (3)
Sesuai dengan kebutuhan, forum koordinasi untuk penanganan tindak pidana di bidang perikanan dapat dibentuk di daerah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hakim ad hoc” adalah seseorang yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sejumlah uang jaminan yang layak” adalah penetapan besar uang jaminan yang ditentukan berdasarkan harga kapal, alat perlengkapan kapal dan hasil dari kegiatannya, ditambah besarnya jumlah denda maksimum.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “benda dan/atau alat”, antara lain, alat penangkapan ikan, ikan tangkapan, kapal yang digunakan untuk menangkap ikan dan/atau mengangkut ikan, dan lain-lain.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Yang dimaksud dengan “pengadilan negeri yang berwenang” adalah pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Sumber: fishyforum
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: