Krisis ikan konsumsi mengancam Indonesia. Pada tahun 2014 diperkirakan akan terjadi kekurangan ketersediaan ikan sebanyak 11,15 juta ton. Ini akibat meningkatnya konsumsi ikan, tetapi tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi dan perlindungan pasar dalam negeri.
Oleh karena itu, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana di Jakarta, Minggu (14/11/2010), mengimbau pemerintah agar serius mengantisipasi ancaman ini.
Rencana strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014 memproyeksikan, produksi ikan nasional, tangkap ataupun budidaya, pada 2014 mencapai 22,54 juta ton. Sementara itu, kebutuhan ikan nasional 33,68 juta ton, dengan asumsi konsumsi ikan 38,67 kilogram per kapita per tahun sehingga ada defisit ikan 11,15 juta ton.
Diperkirakan pada tahun 2014 ada 18 provinsi yang defisit pasokan ikan. Jawa Barat, misalnya, produksi ikannya 1,63 juta ton, sedangkan kebutuhannya 4,06 juta ton sehingga defisit 2,43 juta ton ikan.
Sebanyak 15 provinsi kelebihan produksi ikan. Provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sulsel, Sulteng, Sulut, Gorontalo, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Maluku, Sulbar, Sumatera Selatan, Maluku Utara, Sumatera Barat, dan Papua Barat.
Dorongan ekspor
Kekurangan pasokan ikan untuk konsumsi dalam negeri, menurut Suhana, akan kian parah karena orientasi produksi perikanan untuk ekspor. Padahal, impor perikanan terus naik.
Pada triwulan I-2010 impor produk perikanan 77 juta dollar AS, naik 32 persen dibandingkan dengan tahun 2009, yakni 58 juta dollar AS. Untuk itu, pemerintah perlu menjaga terpenuhinya kebutuhan ikan di dalam negeri. Diperlukan pemetaan produksi dan pemasaran produk nasional, selain menata distribusi produk perikanan antarpulau dan menyediakan infrastruktur perdagangan produk ikan antarpulau.
Pemerintah perlu memperkuat nelayan dan pengusaha perikanan agar mereka melebarkan wilayah tangkapannya ke wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas. ”Selain itu, ada jaminan pemasaran produk perikanan ke luar negeri hanya apabila produksi dan pasokan di dalam negeri mencukupi kebutuhan nasional,” ujar Suhana.
Direktur Eksekutif Ocean Watch Indonesia Herman Jaya meminta pemerintah memperketat regulasi ekspor-impor dan memprioritaskan keamanan konsumsi nasional.
Saat ini daya saing nelayan Indonesia relatif rendah. Sekitar 90 persen nelayan menggunakan kapal kecil berbobot mati di bawah 30 gross ton (GT). Perikanan budidaya terkendala permodalan dan mahalnya harga pakan.
Direktur Pemasaran Luar Negeri KKP Saut Hutagalung mengakui, negara maju menyubsidi sektor perikanannya sehingga produk perikanan mereka menjadi murah. Data World Trade Report (2010) menyebutkan, China menyubsidi sektor perikanannya 4,13 miliar dollar AS.
Pemerintah Indonesia pada tahun 2011 justru berencana menghapus subsidi bahan bakar minyak untuk kapal nelayan berbobot lebih dari 60 GT. (LKT)
Sumber : Kompas.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: