Byur! Satu demi satu penumpang perahu cepat Kambala terjun ke perairan Bante di kawasan perairan Pulau Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Cuaca pagi hari itu memang cerah dan laut dalam keadaan tenang sehingga sangat nyaman untuk menyelam. Tapi mereka tidak sedang berwisata bahari. Mereka adalah anggota tim peneliti gabungan The Nature Conservancy (TNC) dan World Wide Fund for Nature (WWF). Keduanya adalah LSM lingkungan terbesar yang telah lama beroperasi di Indonesia.
Hampir dua pekan lebih, sejak 25 Januari lalu, mereka berlayar di laut lepas dengan Kapal Motor Menami. Begitu memasuki wilayah perairan Pulau Binongko, Wakatobi, mereka berhenti. Setelah sarapan nasi, mi instan, dan telur dadar, mereka siap menyelam. Dua perahu cepat Kambala diturunkan. Sesampai di perairan Bante tadi, mereka pun nyemplung ke laut. Apa yang mereka lakukan di sana?
"Kami ingin mengetahui kondisi terumbu karang di Wakatobi, terutama dalam masalah coral bleaching alias pemutihan terumbu karang," kata Joanne Wilson, Deputi Direktur Sains Program Kelautan TNC Indonesia, yang juga menjadi koordinator penelitian. Survei bertajuk "Wakatobi Post-Coral Bleaching Survey"itu juga didukung Taman Nasional Wakatobi dan Konservasi World Conservation Society Indonesia.
Para peneliti lebih dulu menentukan sejumlah titik survei untuk melihat sejauh mana pemutihan karang terjadi. Menurut Joanne, fenomena ini terjadi lantaran alga keluar dari terumbu karang. Seperti diketahui, terumbu karang terdiri dari hewan karang dan tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae. Antara alga dan karang terjadi simbiosis mutualisme. Alga menggunakan karang sebagai rumah perkembangbiakan, sedangkan karang mendapatkan makanan dari proses fotosintesis yang dilakukan alga. "Ketika suhu air laut naik, terumbu karang mengalami stres. Pada saat itulah alga akan keluar meninggalkan terumbu karang," tutur Joanne.
Karena alga memberikan warna pada karang, maka terumbu karang yang kehilangan alga akan berwarna pucat atau putih. Inilah yang disebut coral bleaching. Karang yang ditinggalkan alga masih hidup, tapi tidak bisa mendapat makanan. Apabila suhu air laut turun, alga bisa kembali muncul, sehingga terumbu karang sehat kembali. "Tapi, jika kenaikan suhu air laut terjadi dalam jangka waktu lama, terumbu karang mengalami kematian," kata Joanne.
Serangan pemutihan karang yang paling serius terjadi pada 1998-1999. Penyebabnya adalah El Nino atau naiknya suhu permukaan air laut. Bak terkena serangan wabah mematikan, pada saat itu diperkirakan 16% populasi terumbu karang di dunia mati. "Ketika itu, banyak orang, termasuk para ilmuwan di dunia, terkaget-kaget atas kejadian itu," ujar Direktur Sains dan Strategi Kelautan TNC Asia Pasifik, Rodney V. Salim.
Menurut dia, para ilmuwan tidak siap menghadapi peristiwa pemutihan karang, meski penelitian soal fenomena itu sudah lam dilakukan. ''Coral bleaching benar-benar menyadarkan orang-orang di seluruh dunia,'' katanya.
Kini wabah putih itu kembali mengancam terumbu karang dunia. Biang keladi timbulnya serangan ini masih sama, yakni El Nino. Fenomena itu utamanya terjadi di wilayah Asia Tenggara dan daerah di sekitar Samudra Hindia, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Maladewa, dan bagian timur Afrika.
Untuk kawasan Indonesia, menurut Joanne, pemutihan terumbu karang terjadi di banyak wilayah, yakni Sabang, Aceh, Padang, Kepulauan Seribu, Karimunjawa, Bali, Lombok, Wakatobi, dan sebagainya. Berdasarkan berbagai laporan sejumlah organisasi dan individual, wabah putih terutama terjadi pada Maret-Juli 2010. "Salah satu wilayah yang terparah adalah Aceh. Sekitar 80% terumbu karang mengalami pemutihan pada Mei 2010," ujar Joanne.
Nah, TNC melakukan survei kesehatan terumbu karang di Wakatobi pada April tahun lalu. Hasilnya, sebanyak 60%-65% terumbu karang yang diteliti di delapan lokasi menunjukkan tanda-tanda pemutihan. Dari jumlah itu, sebanyak 10%-17% di antaranya mengalami pemutihan total. Data tersebut menunjukkan bahwa pemutihan karang di Wakatobi juga harus diwaspadai. Maka, TNC menggandeng WWF dan Taman Nasional Wakatobiuntuk melakukan survei coral bleaching di sana.
Survei gabungan pertama digarap lima bulan kemudian. Hasil surveinya lumayan menggembirakan. ''Hampir semua terumbu karang yang diteliti terlihat sudah pulih,'' kata Joanne. Tapi masih terdapat sejumlah tanda pemutihan terumbu karang. Joanne menyatakan, sebanyak 5%-10% terumbu karang yang diteliti telah mengalami kematian, yang diduga akibat pemutihan. Mereka terutama berasal dari jenis Montipora, Pachyseris, Echinopora, dan Acropora.
Dalam survei September 2010, menurut Joanne, tercatat pula adanya kenaikan suhu air laut di Wakatobi. Suhu air laut di sana, yang biasanya 25-26 derajat celsius, pada saat itu mencapai 28-29 derajat celsius. Selain itu, terjadi juga keanehan cuaca. Wakatobi biasanya sedang mengalami musim panas, dengan sinar matahari yang cerah dan gelombang laut yang tenang, pada September. Namun ketika itu ternyata Wakatobi diselimuti hujan dengan angin kencang yang berasal dari arah timur.
TNC menggelar survei kembali pada Januari-Februari 2011 untuk mengetahui apakah masih ada pemutihan karang di Wakatobi atau tidak. ''Kami ingin membandingkan hasil survei ini dengan penelitian sebelumnya,'' ujar Joanne. Tidak hanya serangan wabah putih yang diteliti, tim juga melakukan monitoring pertumbuhan terumbu karang, pengawasan ikan, dan secara khusus mengamati pertumbuhan terumbu karang berukuran kecil.
Penelitian itu dilakukan dengan cara menyelam, kemudian mengamati secara langsung kondisi terumbu karang, lalu mencatatnya. Total ada 24 titik di Wakatobi yang diteliti. Titik-titik penelitian itu tersebar, dari perairan di wilayah empat pulau besar di Wakatobi, yakni Wangi-wangi, Tomia, Kaledupa, dan Binongko, hingga di sekitar pulau kecil tanpa penghuni seperti Pulau Ndaa. Areal penelitian itu meliputi wilayah dengan kedalaman sekitar 10 meter dan 3 meter.
Tentu saja tidak semua terumbu karang yang ada dalam titik penyelaman diteliti. Tim menentukan areal penelitian yang disebut transect. Metode penentuan areal penelitian itu macam-macam. Alat utama yang digunakan untuk membentuk areal penelitian itu adalah roll meter.
Metode pertama disebut belt transect. Dalam metode ini, wilayah penelitian berbentuk persegi panjang, dengan panjang area 50 meter dan lebar sekitar 1 meter. Dalam belt transect, roll meter dibentangkan sejauh 50 meter. Peneliti harus mengamati terumbu karang dari jarak sejauh itu, dengan lebar 0,5 meter sebelah kanan dan 0,5 meter sebelah kiri roll meter.
Guna meminimalkan kesalahan pengamatan, periset harus mengulang pengamatannya minimal tiga kali. "Dalam survei kemarin, metode ini dipakai untuk mengamati secara khusus pemutihan karang dan untuk survei ikan," tutur Joanne.
Metode kedua disebut point intercept transect. Areal penelitian ini berbentuk garis lurus, mengikuti roll meter yang dibentangkan sejauh 150 meter. Garis lurus itu kemudian dibagi-bagi menjadi titik-titik dengan interval 0,5 sentimeter. Dengan cara ini, ada 300 titik yang menjadi area penelitian. Peneliti harus mengamati dan mencatat semua benda laut yang ada di bawah titik-titik tersebut.
Yang dicatat bukan hanya terumbu karang, melainkan juga berbagai biota laut lainnya, seperti alga, sponge, bahkan pasir dan batu. Khusus terumbu karang diklasifikasikan berdasarkan tingkat pertumbuhannya, dari kecil hingga besar. Dalam survei itu, metode ini dipakai untuk mencatat pertumbuhan terumbu karang dan untuk mengetahui persentase terumbu karang dibandingkan dengan benda laut lain di sekitarnya.
Metode ketiga disebut quadrat. Areal penelitiannya berbentuk bujur sangkar, dengan panjang sisi masing-masing 0,5 meter. Dalam survei TNC lalu, metode ini secara khusus digunakan untuk mencatat terumbu karang yang berukuran kurang dari 10 sentimeter. Peneliti harus mencatat semua terumbu karang kecil yang ada di wilayah bujur sangkar dengan sisi 0,5 meter. Areal bujur sangkar itu harus berjumlah 16 buah, masing-masing delapan pada kedalaman 3 meter dan delapan pada kedalaman 10 meter.
Lalu, bagaimana hasilnya? Hingga pekan ini, laporan lengkap ''Wakatobi Post-Coral Bleaching Survey'' periode Januari-Februari 2011 belum selesai dikerjakan. Namun beberapa anggota tim survei yakin, secara umum terumbu karang di Wakatobi telah pulih dari gejala pemutihan. Meski begitu, ancaman coral bleaching belum benar-benar hilang.
Menurut Rizya Legawa, Deputi Ilmuwan Program Kelautan TNC Indonesia, untuk memberi kemungkinan terumbu karang yang terkena pemutihan bisa pulih, maka kandungan substrat di permukaan terumbu karang harus terjaga. Substrat berfungsi sebagai tempat penempelan larva karang yang baru lahir. ''Menjaga ketersediaan substrat sama dengan menyediakan tempat untuk penempelan larva karang,'' Rizya memaparkan.
Joanne mengatakan, supaya bisa menjadi tempat penempelan larva karang, substrat harus bersih dari makroalga dan turf alga serta pasir dan sedimentasi. ''Agar karang punya kemungkinan besar untuk pulih, kita harus menjaga substrat tetap bersih dari alga dan pasir,'' ujarnya. Untuk melakukan hal itu, menurut Joanne, ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Langkah pertama adalah menjaga populasi ikan herbivora, yakni ikan kakaktua, baronang, dan sebagainya. Ikan herbivora akan memakan makroalga dan turf alga sehingga menjaga permukaan terumbu karang tetap bersih. Permukaan karang yang bersih dari alga bakal menjadi pijakan bagi karang baru yang akan bergabung.
Kedua, memastikan bahwa tingkat sedimentasi di terumbu karang tetap rendah. Sedimentasi dari air kotor, erosi, atau sampah akan membuat makroalga dan turf alga tumbuh pesat. Padahal, dua jenis alga itu akan menghambat penempelan karang baru.
Tahap ketiga adalah menjaga agar tidak terjadi aktivitas pencarian ikan yang merusak terumbu karang. "Ini untuk menjaga supaya hewan karang tetap hidup, sehingga mereka bisa menghasilkan larva yang menambah jumlah hewan karang," kata Joanne. Praktek pencarian ikan yang merusak akan membunuh hewan karang dan menghancurkan struktur terumbu karang.
Meski tidak mudah, semua proses itu harus dilakukan, supaya terumbu karang punya kemungkinan besar untuk pulih setelah terjadinya pemutihan.
0 komentar: