Masalah Sosial Masyarakat Pesisir


Sudah menjadi suatu mitos yang berkembang ditengah-tengah masyarakat bahwa Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik sumber hayatinya maupun non hayatinya, walaupun mitos seperti itu perlu dibuktikan dengan penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif.  Terlepas dari mitos tersebut, kenyataannya Indonesia adalah negara maritim dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun sangatlah ironis sejak 32 tahun yang lalu kebijakan pembangunan perikanan tidak pernah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.

Konsep Pembangunan Alternatif

Paradigma pembangunan holistik, yaitu pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi yang sangat memperhatikan aspek spasial, yaitu pembangunan berwawasan lingkungan, pembangunan berbasis komunitas, pembangunan berpusat pada rakyat, pembangunan berkelanjutan dan pembangunan berbasis kelembagaan.
Untuk mewujudkan pembangunan yang holistik tersebut diperlukan alternatif srategi, yaitu strategi yang berorientasi pada sumber daya atau Resource Base Strategy (RBS), yang meliputi ketersedian sumber daya, faktor keberhasilan serta proses belajar.
Pendekatan dalam RBS adalah strategi pengelolaan sumber daya lokal/pesisir dan kelautan yang berorientasi pada: kualitas, proses, kinerja, pengembangan, budaya, lingkungan (management by process) yang berdasarkan pada pembelajaran, kompetensi, keunggulan, berpikir sistematik, dan pengetahuan (knowledge based management).

Memberdayakan Masyarakat Pesisir

Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. 
Pertanyaan kemudian muncul apakah konsep pemberdayaan yang salah atau pemberdayaan dijadikan alat untuk mencapai tujuan tertentu dari segolongan orang?
Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat diantaranya:
a)      Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut.  Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional.  Keduanya kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya.
b)      Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakt pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan.  Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal.  Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.
c)      Masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim.
d)     Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh.
Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka.  Pemberdayaan masyarakat tangkap minsalnya, mereka membutukan sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda dengan kelompok masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal kerja dan modal investasi, begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh.  Kebutuhan setiap kelompok yang berbeda tersebut, menunjukkan keanekaragaman pola pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap kelompok tersebut.
Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah dengan daerah pesisir lainnya.  Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Persoalan yang mungkin harus dijawab adalah:  Bagaimana memberdayakannya?.

Banyak sudah program pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP).  Pada intinya program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:
(a)         Kelembagaan.
        Untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara kelompok lainnya.
(b)        Pendampingan.
            Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa lalu.  Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah vital terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya. Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang tepat pula.
Dana Usaha Produktif Bergulir
Pada program PEMP juga disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya.  Pengaturan pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga pendamping.
beberapa kecendrungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti:
a)      Aspek Ekologi, overfishing penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan telah cendrung merusak ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) akibatnya menyempitnya wilayah dan sumber daya tangkapan, sehingga sering menimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan,  nelayan dengan masyarakat sekitar dan antara nelayan dengan pemerintah).
b)      Aspek Sosial Ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan bagi nelayan tradisional.  Akibat dari kesenjangan tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar.
c)      Aspek Sosio Kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/ tradisional terhadap pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara pherphery terdapat center, antara masyarakat dengan pemerintah.  Hal ini menimbulkan penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan
Arah modernisasi di sektor perikanan yang dilakukan selama ini, hanya memberi keuntungan kepada sekelompok kecil yang punya kemampuan ekonomi dan politis, sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis pembangunan yang holistik dan terintegrasi serta dapat menjaga keseimbangan antara kegiatan produksi, pengelolahan dan distribusi.
Kita contohkan saja, dari seluruh daerah perairan yang sekarang masuk kewilayah Kabupaten Lingga, sebagai  salah satu daerah penghasil ikan di Provinsi ini, dengan luas lautnya yang mencapai 38 ribu Km2, ada lebih dari 6.180 Rumah Tangga Perikanan (RTP), dalam tahun 2001 produksi perikanan di daerah ini  relatif tinggi, hampir mencapai 16 ribu ton atau senilai lebih kurang 100 juta rupiah, artinya setiap RTP berpenghasilan kotor rata-rata sebesar 16,18 juta rupiah pertahun, setara dengan 1,35 juta perbulan. Angka ini masih harus dikurangi dengan biaya produksi yang  dikeluarkan  seperti pemeliharaan alat tangkap, BBM, pemeliharaan kapal/perahu dan lainnya, yang tidak kecil jumlahnya. Dengan demikian kita dapat berasumsi bahwa potensi perikanan kita yang begitu besar belum memberikan tingkat kesejahteraan yang memadai bagi nelayan kita. Peningkatan kemampuan secara teknis, khususnya bagi nelayan tradisional kita masih sangat diperlukan, disamping kualitas alat produksi.

            Selain itu masalah kontribusi sektor perikanan terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lingga, juga dapat dikatakan setali tiga uang dengan kontribusi  perikanan terhadap pendapatan nasional. Disini, keberadaan sebuah Peraturan Daerah (Perda) sebagai payung hukum bagi Pemerintah Daerah merupakan suatu keniscayaan, guna mengoptimalkan pendapatan daerah dari sektor tersebut.
Permasalahan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pesisir
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun Daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi daerah pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya alam di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.
Kebijakan reklamasi pantai yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak lingkungan pada beberapa Daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem di pesisir. Perizinan pengembangan usaha bagi kalangan dunia usaha selama ini sebagian besar menjadi kewenangan Pusat. Kadangkala dalam hal pemberian izin tersebut tanpa memperhatikan kepentingan Daerah dan masyarakat setempat.
Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
  • Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan suatu kebijakan.
  • Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.
  • Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar Daerah.
  • Kewenangan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap Daerah dan setiap sektor timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
Sedangkan isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :
  • Adanya kesan bahwa sebagian Daerah melakukan pengkaplingan wilayah laut dan pantainya. Untuk itu perlu ditetapkan oleh Pusat pedoman bagi pelaksanaan kewenangan Daerah di bidang kelautan.
  • Pemahaman Daerah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh batas wilayah administratif pemerintahan.
  • Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara lestari dan berkelanjutan.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda